Bencana 25 November 2025 yang melumpuhkan Aceh, Sumatra Utara, dan Sumatra Barat, menewaskan lebih dari 1.000 jiwa, bukanlah takdir, melaink...
Bencana 25 November 2025 yang melumpuhkan Aceh, Sumatra Utara, dan Sumatra Barat, menewaskan lebih dari 1.000 jiwa, bukanlah takdir, melainkan malapetaka yang diundang. Angka korban masif ini adalah bukti nyata kegagalan sistematis pemerintah dalam menegakkan hukum lingkungan dan tata ruang, membiarkan deforestasi dan pembangunan ilegal merobek kawasan rawan. Kami akan membedah di mana letak persis kelalaian hukum negara, serta menuntut pertanggungjawaban legal dari pihak yang seharusnya mencegah tragedi, bukan sekadar mengurus puing setelahnya.
Deforestasi Berbingkai Legal: Analisis Hukum Keterlibatan Negara dalam Bencana Ekologis
Bencana ekologis di Sumatra adalah konsekuensi logis dari Deforestasi Berbingkai Legal, bukan hanya sekadar aktivitas ilegal. Inti masalahnya terletak pada inkonsistensi antara kewajiban negara dalam menjaga daya dukung lingkungan—sebagaimana diatur UU Penataan Ruang—dengan praktik di lapangan. Ketika pemerintah daerah secara legal menerbitkan izin konsesi (HGU/Tambang) di kawasan hutan penyangga dan daerah resapan air, negara secara efektif menjadi pelaku aktif yang melucuti perlindungan alam. Proses pemberian izin yang mengabaikan hasil AMDAL, atau revisi RT/RW yang dipaksakan untuk kepentingan elit ekonomi, merupakan bentuk maladministrasi hukum yang menciptakan kerentanan sistematis. Dengan demikian, bencana di Sumatra ini adalah produk dari hukum yang gagal melindungi, alih-alih menegakkan, prinsip kelestarian lingkungan.
Oleh karena itu, pertanggungjawaban hukum tidak hanya dapat dibebankan pada korporasi sebagai pelaksana lapangan. Fokus utama harus diarahkan pada kegagalan regulator yang melanggar Asas-Asas Umum Pemerintahan yang Baik (AUPB). Kelalaian negara dalam mencabut atau merevisi izin yang terbukti merusak adalah bentuk pembiaran yang berujung fatal. Momen ini menuntut audit hukum total terhadap kebijakan perizinan di tiga provinsi tersebut. Kegagalan ini membuktikan bahwa sistem hukum yang seharusnya menjadi benteng perlindungan, justru menjadi tameng legal bagi kepentingan destruktif, menempatkan nyawa rakyat sebagai korban dari sistem yang korup secara administrasi.
Ketika Negara Alpa: Telaah Kepatuhan Hukum Administrasi Terhadap Fase Tanggap Darurat
Kelalaian ini diperparah ketika pejabat yang berwenang gagal mengambil keputusan tegas, lalu menutupi kelambatan tersebut dengan framing politik. Pertanggungjawaban di fase ini harus diarahkan pada pejabat yang melakukan penyalahgunaan wewenang (détournement de pouvoir) atau tidak patut (onbehoorlijk) dalam menjalankan diskresi publik. Kegagalan birokrasi dalam situasi krisis ini membuktikan bahwa sistem administrasi negara telah lumpuh, melanggar prinsip dasar tata kelola pemerintahan yang baik di tengah krisis kemanusiaan.
Politisasi Penderitaan: Mengurai Legalitas Penolakan Bantuan dan Framing Citra di Atas Korban
Tindakan Presiden menolak tawaran bantuan asing di tengah krisis besar adalah politisasi penderitaan yang secara fundamental melanggar asas kemanusiaan dan hak korban untuk mendapat pertolongan maksimal, yang dijamin oleh UUD 1945 dan UU No. 39 Tahun 1999 tentang HAM. Keputusan tersebut, yang diiringi klaim framing bahwa bencana sudah teratasi, dapat dikategorikan sebagai penyalahgunaan wewenang (détournement de pouvoir) karena mengabaikan kepentingan umum. Presiden, dalam menjalankan diskresi, wajib tunduk pada UU No. 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan (UUAP).
Politisasi ini diperparah oleh upaya framing media terkoordinasi yang hanya berfokus membangun citra keberhasilan fiktif, mengesampingkan realitas penderitaan korban di lapangan. Fenomena ini bukan sekadar masalah etika, tetapi mencerminkan ketidakjujuran administrasi yang merusak kepercayaan publik dan menghambat akuntabilitas penanganan bencana. Ini menunjukkan bahwa kepentingan citra kekuasaan lebih diprioritaskan ketimbang kepatuhan terhadap prinsip perlindungan kemanusiaan.
Arogansi Kekuasaan: Intervensi Negara Terhadap Solidaritas Sipil dan Hak Fundamental Warga
Di tengah kelalaian respons pemerintah, inisiatif solidaritas sipil dan penggalangan dana oleh warga justru berhadapan dengan sikap sinis dan intervensi tidak proporsional dari otoritas negara. Upaya membatasi atau mengkriminalisasi inisiatif bottom-up ini menunjukkan arogansi kekuasaan yang membahayakan prinsip demokrasi. Secara konstitusional, intervensi ini melanggar Hak Konstitusional warga untuk berserikat dan berpartisipasi dalam kemanusiaan, dijamin oleh Pasal 28E UUD 1945 dan UU No. 9 Tahun 1998.
Negara, yang gagal menjalankan fungsi protektifnya sesuai UU No. 24 Tahun 2007, malah menggunakan aparatur penegak hukum untuk membayangi upaya warga. Tindakan ini merupakan cerminan ketidakpatutan (onbehoorlijkheid) dan membuktikan pergeseran prioritas rezim. Alih-alih memfasilitasi, negara justru menunjukkan kecurigaan patologis terhadap inisiatif non-pemerintah, menegaskan bahwa kepentingan pengamanan citra kekuasaan lebih utama daripada menghormati hak-hak sipil.
Kesimpulan
Tragedi Sumatra 2025 adalah monumen kegagalan negara. Lebih dari 1.000 nyawa membuktikan bahwa hukum telah direduksi menjadi komoditas politik, di mana kelalaian struktural dilindungi oleh arogansi kekuasaan. Ini bukan akhir, melainkan awal dari tuntutan. Gugatan Citizen Lawsuit adalah kewajiban etis untuk memutus rantai impunitas politik. Pertanyaannya: Sampai kapan kita membiarkan negara gagal, dan kapan pertanggungjawaban hukum tertinggi akan ditegakkan?
Komentar