Menganalisis konflik hukum antara percepatan transisi energi bersih dan perlindungan hak tanah masyarakat di Indonesia.
Memasuki penghujung tahun dua ribu dua puluh lima, komitmen Indonesia menuju target Net Zero Emission menjadi prioritas nasional yang sangat tidak terelakkan lagi. Pembangunan pembangkit listrik tenaga surya, bayu, hingga panas bumi kini masif dilakukan secara menyeluruh di berbagai wilayah tanah air. Namun, di balik semangat dekarbonisasi yang membara ini, muncul persoalan hukum yang sangat pelik mengenai penguasaan lahan. Seringkali, lokasi yang dinilai strategis untuk proyek energi terbarukan berada tepat di atas lahan yang telah dihuni atau dikelola secara turun-temurun oleh masyarakat lokal dan komunitas adat. Fenomena ini menciptakan ketegangan yang nyata antara kepentingan publik yang lebih besar dan hak konstitusional individu atas ruang hidupnya. Tanpa adanya kerangka hukum yang adil, transisi energi justru berisiko melanggengkan praktik perampasan lahan yang sistematis. Artikel ini akan membedah bagaimana regulasi di Indonesia harus mampu menyeimbangkan ambisi iklim global dengan kepastian hukum bagi pemilik tanah, agar jargon keberlanjutan tidak menjadi kemasan semu investasi besar.
Ambisi Net Zero dan Urgensi Lahan
Pemerintah telah menetapkan target sangat ambisius dalam bauran energi nasional untuk menekan emisi gas rumah kaca. Secara teknis, infrastruktur energi baru terbarukan memerlukan luasan lahan yang jauh lebih besar dibandingkan energi fosil per unit energi yang dihasilkan. Misalnya, ladang panel surya skala besar membutuhkan ribuan hektar tanah terbuka. Kebutuhan akan ruang ini sering kali bertabrakan dengan rencana tata ruang wilayah dan keberadaan hak milik masyarakat. Dalam konteks hukum, penetapan proyek energi sebagai Proyek Strategis Nasional memberikan wewenang lebih bagi pemerintah untuk melakukan pengadaan tanah secara cepat. Namun, percepatan ini sering kali memicu tumpang tindih perizinan antara sektor energi, kehutanan, dan perkebunan. Regulasi yang ada saat ini dituntut untuk lebih fleksibel namun tetap mengedepankan prinsip konsultasi publik yang bermakna. Jika proses pengadaan lahan hanya dilihat sebagai prosedur administratif tanpa mempertimbangkan aspek sosial dan sejarah penguasaan tanah, maka proyek energi hijau akan terus diwarnai oleh konflik hukum berkepanjangan.
Benturan Regulasi PSN Hak Adat
Salah satu akar permasalahan utama dalam dilema agraria ini adalah status pengakuan hak atas tanah masyarakat adat yang masih lemah di hadapan regulasi sektoral. Meskipun konstitusi menjamin keberadaan kesatuan masyarakat hukum adat, dalam praktiknya, mereka sering kesulitan membuktikan kepemilikan formal di pengadilan. Ketika sebuah proyek energi terbarukan ditetapkan sebagai kepentingan umum, instrumen hukum seperti Undang-Undang Pengadaan Tanah sering kali digunakan sebagai alat untuk memaksa pelepasan hak dengan ganti rugi yang tidak sebanding. Di sisi lain, UU Cipta Kerja memberikan berbagai kemudahan perizinan bagi investor energi, yang terkadang mengabaikan hak veto masyarakat lokal atas tanah ulayat mereka. Ketidakseimbangan kekuatan hukum antara korporasi besar dan warga lokal menciptakan kerentanan sosial yang serius. Sengketa yang muncul biasanya berpusat pada tidak adanya persetujuan atas dasar informasi awal tanpa paksaan atau dikenal sebagai prinsip FPIC. Ini menunjukkan bahwa kepastian hukum bagi investor tidak akan tercapai selama kepastian hak bagi rakyat masih terabaikan oleh negara.
Solusi Yuridis Untuk Keadilan Ekologis
Untuk menjembatani jurang pemisah antara target iklim dan hak agraria, diperlukan reformasi kebijakan yang menempatkan keadilan ekologis sebagai pilar utama. Pemerintah perlu memperkuat mekanisme penyelesaian sengketa lahan secara non-litigasi yang melibatkan partisipasi aktif masyarakat. Penggunaan skema bagi hasil atau kemitraan lahan, di mana masyarakat tetap memegang hak atas tanah namun mendapatkan manfaat ekonomi dari proyek energi, dapat menjadi alternatif cerdas dibandingkan pelepasan hak mutlak. Selain itu, sinkronisasi data pada peta tunggal nasional sangat krusial untuk mencegah klaim ganda atas lahan yang akan dikembangkan. Dari sisi yuridis, hakim-hakim di Indonesia perlu memiliki perspektif lingkungan dan agraria yang kuat dalam memutus perkara sengketa lahan energi. Transisi energi yang adil atau Just Energy Transition hanya bisa terwujud jika hak-hak dasar manusia tidak dikorbankan demi mengejar angka penurunan emisi di atas kertas. Penegakan hukum yang transparan dan akuntabel akan membangun kepercayaan publik terhadap proyek-proyek hijau pemerintah secara menyeluruh bagi semua pihak berkepentingan.
Kesimpulan
Sebagai kesimpulan akhir, transisi menuju energi terbarukan di Indonesia adalah keharusan sejarah yang tidak bisa ditunda demi menyelamatkan lingkungan global. Namun, ambisi tersebut tidak boleh membutakan kita terhadap realitas ketidakadilan agraria yang masih menghantui banyak pelosok negeri. Perlindungan hak atas tanah dan pencapaian target emisi bukanlah dua hal yang harus saling meniadakan dalam praktiknya. Dengan regulasi yang inklusif, pengakuan hak adat yang tegas, dan proses pengadaan lahan yang manusiawi, Indonesia dapat membuktikan bahwa kemajuan teknologi energi mampu berjalan beriringan dengan penghormatan terhadap hak asasi manusia. Hanya melalui jalan keadilan inilah, keberlanjutan sejati dapat diwariskan kepada generasi mendatang secara utuh dan bermartabat. Kita perlu memastikan bahwa setiap kebijakan yang diambil saat ini merupakan cerminan dari keberpihakan negara terhadap kedaulatan rakyat atas tanahnya sendiri. Tanpa keadilan agraria, transisi energi hanyalah sebuah narasi kosong yang mengulang pola lama eksploitasi lahan di masa lalu yang sangat merugikan bagi masyarakat kecil di seluruh wilayah nusantara tercinta.
Credit :
Penulis : Nabilla Putri
Gambar oleh : Nano Banana - Gemini Google
Referensi :
Komentar