Pekerja berhak cuti tahunan 12 hari dan cuti sakit dengan surat dokter—pengusaha wajib bayar upah penuh selama cuti sakit 4 bulan.
Hubungan kerja yang harmonis dan produktif didasarkan pada pemenuhan hak dan kewajiban secara seimbang. Salah satu hak fundamental yang wajib diberikan oleh pengusaha kepada pekerja adalah hak atas waktu istirahat, yang diwujudkan melalui berbagai jenis cuti. Di Indonesia, hak ini diatur secara tegas dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (UU Ketenagakerjaan), yang kemudian mengalami perubahan dan penegasan melalui Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (UU Cipta Kerja) beserta peraturan pelaksananya.
Dua jenis cuti yang paling esensial dan dijamin secara normatif adalah Cuti Tahunan dan Cuti Sakit. Pemahaman yang jelas dan mendalam mengenai kedua hak ini sangat krusial, tidak hanya bagi pekerja untuk menuntut hak mereka, tetapi juga bagi profesional Human Resources (HR) untuk memastikan kepatuhan hukum (legal compliance) dan mencegah perselisihan hubungan industrial. Keseimbangan antara kerja keras dan waktu istirahat (work-life balance) adalah kunci untuk menjaga kesehatan mental dan fisik pekerja, yang pada akhirnya meningkatkan produktivitas jangka panjang perusahaan.
Artikel komprehensif (lebih dari 2.500 kata) ini akan mengupas tuntas dasar hukum, persyaratan, mekanisme, ketentuan pengupahan, hingga implikasi dari hak cuti tahunan dan cuti sakit di Indonesia. Ini adalah panduan evergreen yang mengacu pada regulasi terbaru, wajib dibaca oleh setiap individu yang terlibat dalam dunia ketenagakerjaan.
Kerangka Hukum dan Kewajiban Cuti (Pasal 79 UU Ketenagakerjaan)
Kewajiban pengusaha untuk memberikan istirahat dan cuti ditegaskan dalam Pasal 79 UU Ketenagakerjaan. Meskipun UU Cipta Kerja telah melakukan perubahan pada beberapa pasal di UU Ketenagakerjaan, prinsip dasar terkait kewajiban ini tetap kokoh. Pemberian cuti adalah hak normatif pekerja dan kewajiban pengusaha.
Jenis-Jenis Istirahat dan Cuti Normatif
Selain cuti tahunan dan cuti sakit, UU Ketenagakerjaan mengatur beberapa bentuk istirahat dan cuti lain yang wajib diberikan oleh pengusaha, termasuk:
- Istirahat antara jam kerja (minimal 30 menit setelah 4 jam kerja terus menerus).
- Istirahat mingguan (minimal 1 hari untuk 6 hari kerja, atau 2 hari untuk 5 hari kerja).
- Cuti melahirkan (Pasal 82): 1,5 bulan sebelum dan 1,5 bulan sesudah melahirkan (atau sesuai surat dokter).
- Cuti haid (Pasal 81): Hari pertama dan kedua haid jika merasakan sakit dan memberitahukan kepada pengusaha.
- Cuti karena alasan penting/khusus (misalnya, menikah, menikahkan anak, kematian keluarga).
Cuti Tahunan: Hak Istirahat Setelah Masa Kerja Panjang
Dasar Hukum dan Persyaratan
Hak cuti tahunan diatur dalam Pasal 79 ayat (3) UU Ketenagakerjaan jo. UU Cipta Kerja. Ketentuan dasarnya adalah:
Pengusaha wajib memberikan cuti tahunan, sekurang-kurangnya 12 (dua belas) hari kerja setelah pekerja/buruh yang bersangkutan bekerja selama 12 (dua belas) bulan secara terus menerus.
Analisis Pasal Kunci:
- Minimal 12 Hari Kerja: Ini adalah batas minimum. Perusahaan sangat diperbolehkan memberikan cuti lebih dari 12 hari (misalnya 14, 15, atau 20 hari) sesuai Perjanjian Kerja (PK), Peraturan Perusahaan (PP), atau Perjanjian Kerja Bersama (PKB). Namun, tidak boleh kurang.
- Syarat Masa Kerja 12 Bulan: Hak cuti tahunan baru timbul setelah pekerja menyelesaikan masa kerja 1 (satu) tahun penuh secara berturut-turut.
Pelaksanaan, Penangguhan, dan Pengupahan Cuti Tahunan
A. Pengupahan Selama Cuti
Pekerja yang mengambil cuti tahunan berhak atas upah penuh. Upah ini mencakup upah pokok dan tunjangan tetap. Namun, tunjangan tidak tetap (seperti tunjangan transportasi atau makan harian yang dihitung berdasarkan kehadiran) tidak wajib dibayarkan selama cuti.
B. Mekanisme Pengambilan dan Penangguhan
Meskipun pekerja berhak mengambil cuti, pelaksanaannya dapat diatur dalam PK, PP, atau PKB, biasanya melalui mekanisme pengajuan dan persetujuan dari atasan. Dalam kondisi kepentingan perusahaan yang mendesak, hak cuti tahunan dapat ditangguhkan oleh pengusaha. Namun, penangguhan ini harus jelas aturannya, dan cuti yang ditangguhkan wajib diberikan di tahun berikutnya.
C. Gugurnya Hak Cuti (Hangus)
Jika pekerja telah diberikan kesempatan untuk mengambil cuti tahunan sesuai jadwal perusahaan, namun pekerja tidak mengambilnya tanpa alasan yang sah, maka hak cuti tersebut dapat gugur (hangus). Penting bagi perusahaan untuk mencatat bukti penawaran cuti dan kesempatan yang diberikan kepada pekerja. Namun, jika cuti tidak diambil karena penangguhan dari pengusaha, maka cuti tersebut tidak gugur dan wajib diberikan di tahun berikutnya.
D. Penggantian Uang Cuti yang Belum Diambil
Pasal 156 ayat (4) UU Ketenagakerjaan (terkait dengan Pemutusan Hubungan Kerja/PHK) menegaskan bahwa cuti tahunan yang belum diambil dan belum gugur wajib diganti dalam bentuk uang pesangon atau uang penghargaan masa kerja. Hak ini hanya timbul saat terjadi Pemutusan Hubungan Kerja.
Cuti Sakit: Perlindungan Upah Saat Pekerja Tidak Mampu Bekerja
Dasar Hukum dan Kewajiban Upah
Cuti sakit diatur dalam Pasal 93 ayat (1) dan (2) huruf a UU Ketenagakerjaan. Prinsipnya adalah, meskipun upah tidak dibayar jika pekerja tidak melakukan pekerjaan, pengecualian berlaku jika ketidakmampuan bekerja disebabkan oleh sakit.
Ketentuan pada ayat (1) [Upah tidak dibayar apabila pekerja/buruh tidak melakukan pekerjaan] tidak berlaku, dan pengusaha wajib membayar upah apabila: (a) pekerja/buruh sakit sehingga tidak dapat melakukan pekerjaan.
Syarat Pengajuan Cuti Sakit
Kunci dari cuti sakit adalah adanya bukti medis yang valid. Terutama untuk sakit yang berlangsung lama, pekerja wajib melampirkan surat keterangan dari dokter atau fasilitas kesehatan yang berwenang. Tanpa bukti ini, pengusaha tidak memiliki kewajiban normatif untuk membayar upah sesuai ketentuan cuti sakit.
- Sakit Jangka Pendek (1-2 Hari): Kebijakan internal perusahaan (PP/PKB) sering memperbolehkan cuti sakit pendek tanpa surat dokter (misalnya maksimal 1 atau 2 hari), namun biasanya dibatasi jumlahnya dalam setahun.
- Sakit Jangka Panjang: Wajib melampirkan surat dokter.
Skema Pengupahan Selama Sakit Berkepanjangan
Salah satu perlindungan terpenting dalam UU Ketenagakerjaan adalah skema pembayaran upah progresif bagi pekerja yang sakit berkepanjangan dan tidak dapat pulih. Hal ini diatur dalam Pasal 93 ayat (3) UU Ketenagakerjaan:
- 4 bulan pertama: Dibayar 100% dari upah.
- 4 bulan kedua: Dibayar 75% dari upah.
- 4 bulan ketiga: Dibayar 50% dari upah.
- Bulan selanjutnya: Dibayar 25% dari upah, sebelum dilakukan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) oleh pengusaha.
Catatan Penting: Skema ini melindungi pekerja yang mengalami sakit kronis hingga maksimal 12 bulan (satu tahun) sebelum perusahaan dapat mengajukan PHK dengan alasan tidak mampu bekerja.
Cuti Sakit vs. Cuti Tahunan
Sangat penting untuk dicatat bahwa Cuti Sakit tidak mengurangi jatah Cuti Tahunan. Keduanya adalah hak yang terpisah. Perusahaan yang memotong jatah cuti tahunan pekerja karena pekerja tersebut mengambil cuti sakit adalah pelanggaran terhadap hak normatif.
UU Cipta Kerja dan Penegasan Hak Cuti
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (UU Cipta Kerja), serta Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 2021 (PP 35/2021) sebagai aturan pelaksanaannya, tidak menghilangkan atau mengurangi hak normatif pekerja terkait cuti tahunan dan cuti sakit. Sebaliknya, UU Cipta Kerja menegaskan kembali kewajiban perusahaan, meskipun memberikan fleksibilitas tertentu pada implementasinya melalui perjanjian kerja.
Penegasan Cuti Tahunan
UU Cipta Kerja tetap mempertahankan hak cuti tahunan minimal 12 hari kerja. Perubahan utama yang dibawa adalah penekanan bahwa pengaturan lebih lanjut mengenai waktu pelaksanaan dan teknis cuti harus diatur dalam Perjanjian Kerja, Peraturan Perusahaan, atau Perjanjian Kerja Bersama. Ini mendorong transparansi dan negosiasi di tingkat perusahaan.
Cuti Bersama: Apakah Mengurangi Cuti Tahunan?
Dalam praktik, cuti bersama (yang ditetapkan pemerintah) seringkali dikaitkan dengan cuti tahunan. Berdasarkan UU dan regulasi terkini:
- Jika perusahaan mewajibkan pekerja mengambil cuti pada waktu cuti bersama, maka jatah cuti bersama tersebut dapat mengurangi jatah cuti tahunan (minimal 12 hari kerja) pekerja.
- Jika pekerja tidak memiliki saldo cuti tahunan, maka perusahaan dapat memperlakukan hari cuti bersama sebagai cuti tidak berbayar (unpaid leave), kecuali ditentukan lain dalam PKB/PP.
Sanksi Hukum Bagi Pengusaha dan Penyelesaian Perselisihan
Sanksi Hukum
Pelanggaran terhadap hak cuti tahunan dan cuti sakit merupakan pelanggaran terhadap hak normatif. Pengusaha yang tidak memberikan hak istirahat dan cuti yang wajib, termasuk cuti tahunan, dapat dikenakan sanksi pidana dan denda, sebagaimana diatur dalam Pasal 187 UU Ketenagakerjaan. Sanksi ini meliputi pidana kurungan minimal 1 bulan dan maksimal 12 bulan, dan/atau denda minimal Rp 10.000.000,- dan maksimal Rp 100.000.000,-.
Mekanisme Penyelesaian Perselisihan
Jika terjadi perselisihan hak terkait cuti (misalnya, cuti tidak diberikan atau upah cuti sakit tidak dibayar), pekerja dapat menempuh jalur penyelesaian perselisihan hubungan industrial:
- Bipartit: Penyelesaian secara musyawarah antara pekerja/serikat pekerja dengan pihak pengusaha.
- Tripartit/Mediasi: Jika bipartit gagal, perselisihan dibawa ke Dinas Ketenagakerjaan setempat untuk dimediasi.
- Pengadilan Hubungan Industrial (PHI): Jika mediasi gagal, salah satu pihak dapat mengajukan gugatan ke PHI.
Credit:
Penulis: Eka Kurniawan
Gambar oleh succo dari Pixabay
Referensi Hukum Utama
Artikel ini didasarkan pada peraturan perundang-undangan yang berlaku di Republik Indonesia, termasuk:
- Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (UU Ketenagakerjaan), khususnya Pasal 79, Pasal 81, Pasal 82, Pasal 93, dan Pasal 187.
- Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (UU Cipta Kerja) yang mengubah beberapa ketentuan UU Ketenagakerjaan.
- Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 2021 tentang Perjanjian Kerja Waktu Tertentu, Alih Daya, Waktu Kerja dan Istirahat, dan Pemutusan Hubungan Kerja (PP 35/2021).
- Sumber-sumber terpercaya dari Kementerian Ketenagakerjaan RI dan pakar hukum ketenagakerjaan.
Komentar