Ulas prinsip hukum perkawinan di Indonesia—pertemuan antara sakralitas agama dan legalitas negara—serta dampaknya bagi masyarakat.
Mengupas urgensi pencatatan nikah secara hukum (legalitas) dan pandangan syariat (sakralitas). Jaminan perlindungan hak istri dan anak.
Pernikahan adalah ikatan suci yang melampaui kontrak duniawi; ia adalah perjanjian agung (*mitsaqan ghaliza*) di hadapan Tuhan. Namun, di era modern, ritual sakral ini harus diiringi dengan dimensi legalitas yang tak kalah penting, yaitu **Pencatatan Nikah**. Pencatatan bukan sekadar formalitas, melainkan benteng hukum yang melindungi hak-hak dasar setiap anggota keluarga—terutama istri dan anak.
Artikel *evergreen* ini akan membedah dua pilar utama dalam sebuah perkawinan yang sah di Indonesia: **Sakralitas (Syariah)**, sebagai pemenuhan rukun agama; dan **Legalitas (Hukum Negara)**, sebagai pemenuhan perlindungan hak-hak sipil. Memisahkan keduanya dapat membawa konsekuensi hukum dan sosial yang rumit, yang sering disebut Nikah Siri atau Nikah Tidak Tercatat.
Pilar I: Sakralitas Nikah (Perspektif Syariah)
Rukun dan syarat nikah yang ditetapkan agama adalah penentu sah atau tidaknya sebuah perkawinan di mata Tuhan.
Rukun Nikah: Fondasi Perkawinan yang Sah
Dalam Islam, sebuah pernikahan dianggap sah secara agama jika memenuhi lima rukun, yaitu: adanya calon suami, adanya calon istri, adanya wali nikah, adanya dua orang saksi, dan adanya ijab kabul. Adanya mahar (maskawin) adalah kewajiban yang harus dipenuhi. Kelima rukun ini memastikan bahwa akad nikah dilakukan secara transparan dan memenuhi syarat syar'i.
Tujuan Sakral: Membangun Mawaddah wa Rahmah
Tujuan utama pernikahan adalah mewujudkan keluarga yang harmonis berdasarkan cinta dan kasih sayang (mawaddah wa rahmah). Nilai sakral ini menjadi landasan moral dan spiritual dalam menjalankan hak dan kewajiban masing-masing pihak. Aspek agama menjamin ikatan batin dan spiritual keluarga.
Nikah Siri: Sah di Mata Tuhan, Rentan di Mata Hukum
Pernikahan yang hanya memenuhi rukun syar'i tetapi tidak dicatatkan di Kantor Urusan Agama (KUA) atau Catatan Sipil disebut Nikah Siri. Secara agama, pernikahan ini sah, tetapi rentan secara hukum. Kerentanan ini terletak pada kesulitan membuktikan hubungan perkawinan di pengadilan untuk menuntut hak.
Pilar II: Legalitas Nikah (Perspektif Hukum Negara)
Pencatatan nikah di Indonesia diatur dalam Undang-Undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974.
Prinsip Hukum: Tiap Perkawinan Wajib Dicatat
Pasal 2 Ayat (2) UU No. 1 Tahun 1974 dengan tegas menyatakan: "Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku." Ketentuan ini menegaskan bahwa pencatatan bukan sekadar anjuran, melainkan kewajiban hukum. Fungsi utama pencatatan adalah memberikan status hukum dan akta otentik.
Akta Nikah: Bukti Hukum yang Otentik
Akta nikah yang dikeluarkan oleh negara (KUA atau Catatan Sipil) adalah dokumen otentik yang tak terbantahkan. Dokumen ini menjadi satu-satunya alat bukti sah di pengadilan untuk perkara hukum apa pun, termasuk perceraian, sengketa harta bersama, dan yang paling krusial, hak waris.
Jaminan Perlindungan Hak Istri dan Anak
Inilah inti dari legalitas. Jika terjadi perceraian, akta nikah menjamin hak istri untuk mendapatkan nafkah iddah dan mut'ah, serta hak pemeliharaan anak (*hadhanah*) dan pembagian harta bersama. Bagi anak, akta nikah menjamin status hukum mereka sebagai anak sah, yang krusial untuk hak waris, asuransi, tunjangan, dan pendaftaran sekolah.
Pilar III: Konsekuensi Jika Nikah Tidak Dicatat
Nikah Siri membawa risiko hukum dan sosial yang harus dipahami oleh calon pasangan suami istri.
Sulitnya Pengakuan Status Anak
Anak yang lahir dari pernikahan tidak tercatat (Nikah Siri) seringkali menghadapi masalah dalam legalitas statusnya. Di mata negara, status mereka tidak secara otomatis diakui sebagai anak sah suami, yang mempersulit pengurusan dokumen sipil seperti akta kelahiran dan Kartu Keluarga (KK).
Hilangnya Hak Waris dan Harta Bersama
Tanpa akta nikah, istri yang dicerai atau ditinggal wafat suaminya akan kesulitan menuntut hak waris atau pembagian harta bersama di pengadilan agama. Proses ini menjadi sangat panjang dan rumit karena harus didahului dengan permohonan Isbat Nikah (pengesahan nikah) ke pengadilan.
Mekanisme Isbat Nikah (Pengesahan Perkawinan)
Bagi pasangan yang terlanjur Nikah Siri, solusi hukumnya adalah mengajukan permohonan Isbat Nikah ke Pengadilan Agama. Jika disetujui, Pengadilan akan menetapkan keabsahan perkawinan tersebut, dan barulah KUA dapat menerbitkan akta nikah. Namun, proses ini memakan waktu, biaya, dan energi.
Kesimpulan: Menikahi Sunnah, Mencatat Hak
Pencatatan nikah bukanlah intervensi negara terhadap ritual agama, melainkan upaya negara untuk melindungi hak-hak warganya sesuai dengan tujuan syariat itu sendiri.
Bagi setiap pasangan yang akan memulai bahtera rumah tangga, penuhi kedua dimensi: laksanakan rukun agama untuk mendapatkan sakralitas spiritual, dan catatkan perkawinan di KUA untuk mendapatkan legalitas hukum. Hanya dengan menggabungkan Sakralitas dan Legalitas, sebuah keluarga dapat berdiri kokoh di hadapan Tuhan maupun negara, menjamin masa depan yang aman bagi istri dan anak-anak.
Credit :
Penulis : Brylian Wahana
Gambar oleh Ylanite Koppens dari Pixabay
Komentar