Artikel ini membedah paradoks di balik pemberlakuan KUHP baru yang diklaim sebagai produk dekolonisasi, namun justru terjebak dalam obsesi mengatur ra
Lahirnya UU No. 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) sering diglorifikasi sebagai kemenangan "dekolonisasi" hukum nasional. Namun, jika kita membedah anatomi politiknya, yang terjadi justru sebuah paradoks yang mencemaskan: kita berhasil mengusir warisan kolonial, tetapi mengundang masuk paternalisme negara yang jauh lebih intrusif. Negara kini tidak lagi sekadar berdiri di mimbar pidato; ia telah melangkah terlalu jauh hingga ke bawah selimut warga negaranya. Obsesi rezim untuk mengkriminalisasi ranah privat bukan sekadar soal moralitas, melainkan sinyal kuat tentang regresi demokrasi di mana kedaulatan tubuh mulai dianggap sebagai properti negara yang harus diawasi dan didisiplinkan.
Paternalisme Moralistik: Negara Sebagai "Orang Tua" yang Obsesif
Masuknya delik perzinahan (Pasal 411) dan kohabitasi (Pasal 412) menunjukkan pergeseran filosofis dari hukum yang melindungi kepentingan umum (public harm) menjadi hukum yang menghukum "dosa" (private sin).
Negara bertransformasi menjadi "Nanny State"—negara pengasuh yang merasa paling tahu cara warga negaranya harus berperilaku di ruang paling tertutup sekalipun. Dalam kacamata politik, ini adalah bentuk populisme hukum. Penguasa menggunakan isu moralitas untuk mengambil hati konstituen konservatif, meskipun konsekuensinya adalah pengikisan hak privasi yang fundamental. Ketika standar moralitas tunggal dipaksakan melalui instrumen pidana, pluralisme gaya hidup di Indonesia sedang berada dalam ancaman serius.
Pseudo-Dekolonisasi: Melepas Baju Belanda, Memakai Jubah Otoriter
Pemerintah secara konsisten menggunakan narasi "nasionalisme hukum" untuk membungkam kritik. Mereka berdalih bahwa KUHP lama adalah produk Barat yang tidak sesuai dengan nilai-nilai ketimuran. Namun, ini adalah strategi nasionalisme sempit yang digunakan untuk menjustifikasi pengekangan kebebasan sipil.
Ironisnya, hukum kolonial Belanda (WvS) sebenarnya lebih sekuler dalam memandang ruang privat. Dengan dalih "nilai-nilai Indonesia," negara justru menciptakan alat represi baru yang lebih tajam. Ini bukan dekolonisasi dalam arti memerdekakan rakyat, melainkan internalisasi kontrol; mengganti penjajah asing dengan otoritas domestik yang merasa berhak mengatur setiap jengkal perilaku personal rakyatnya. Kita tidak sedang memerdekakan hukum, kita sedang "menasionalisasi" penindasan terhadap ruang pribadi.
Biopolitik: Kontrol Tubuh sebagai Instrumen Kekuasaan
Secara analitis, fenomena ini adalah manifestasi dari biopolitik—cara kekuasaan modern mengatur dan mengawasi setiap detail kehidupan fisik rakyatnya sebagai instrumen kontrol sosial.
Dengan mengancamkan pidana pada urusan ranjang, negara mengirimkan pesan subliminal: "Tidak ada tempat yang aman dari pengawasan kami." Kontrol atas tubuh adalah bentuk kekuasaan yang paling absolut. Rakyat yang merasa "diawasi" di ruang privat akan cenderung lebih patuh dan takut di ruang publik. Ini menciptakan masyarakat yang mudah didisiplinkan melalui rasa malu dan ancaman penjara, yang pada akhirnya melemahkan daya kritis warga terhadap kebijakan publik lainnya.
Horisontalisasi Konflik: Menciptakan "Polisi Moral" di Tingkat Akar Rumput
Meskipun disebut sebagai delik aduan, keberadaan pasal-pasal ini menciptakan atmosfer ketakutan dan mekanisme kontrol sosial yang murah bagi negara: membiarkan masyarakat saling mengawasi satu sama lain.
Risiko Persekusi: Pasal ini rentan menjadi legitimasi bagi kelompok masyarakat tertentu untuk melakukan penggerebekan sepihak atau aksi main hakim sendiri atas nama "ketertiban."
Pemerasan Sosial: Ruang abu-abu dalam penegakan pasal ini membuka peluang bagi pemerasan oleh oknum yang memanfaatkan ketakutan warga akan label "kriminal" dalam urusan privat mereka. Ini adalah resep sempurna untuk menciptakan segregasi sosial dan menghancurkan kohesi warga di tingkat bawah.
Kompromi Elit: Moralitas sebagai Pengalih Isu (Red Herring)
Sebagai pengamat, kita harus kritis melihat mengapa pasal-pasal "selangkangan" ini begitu kencang diperdebatkan sementara pasal-pasal lain yang melemahkan demokrasi sering kali lolos tanpa perlawanan berarti.
Isu moralitas sering dijadikan "umpan" dalam negosiasi politik di parlemen. Pasal-pasal privat ini seolah menjadi kompensasi bagi kelompok tertentu agar mereka menyetujui pasal-pasal lain yang lebih menguntungkan stabilitas elit, seperti pelemahan hukuman bagi koruptor atau pembatasan kritik terhadap lembaga negara. Fokus publik yang terkuras pada perdebatan moralitas privat sering kali mengalihkan perhatian dari kegagalan negara dalam urusan publik yang lebih mendesak, seperti keadilan ekonomi dan pemberantasan korupsi.
Dampak Ekonomi: Moralitas yang Menghambat Modernitas
Terdapat kontradiksi besar antara ambisi pemerintah menarik investasi global dengan kebijakan domestik yang terlihat regresif. Ketidakpastian hukum mengenai privasi adalah "red flag" bagi investor mancanegara dan sektor pariwisata.
Bagaimana mungkin Indonesia mempromosikan diri sebagai pusat digital nomad atau destinasi wisata kelas dunia jika di saat yang sama negara mengancam akan memenjarakan orang atas pilihan gaya hidup mereka di ruang privat? Dunia akan melihat Indonesia bukan sebagai negara demokrasi yang modern, melainkan sebagai wilayah yang terjebak dalam konservatisme hukum yang membelenggu produktivitas dan kebebasan individu.
Kesimpulan: Matinya Ruang Privat, Runtuhnya Demokrasi
Eksistensi KUHP baru ini adalah lonceng kematian bagi konsep privasi di Indonesia. Jika negara sudah merasa berhak mengatur apa yang boleh dilakukan oleh dua orang dewasa di ruang tertutup tanpa adanya unsur kekerasan, maka tidak ada lagi batasan bagi negara untuk mengintervensi aspek kehidupan lainnya.
Demokrasi yang sehat mensyaratkan adanya garis demarkasi yang jelas antara wilayah publik dan wilayah pribadi. Ketika garis itu dikaburkan, kita tidak lagi hidup dalam negara hukum yang melindungi warga, melainkan dalam sebuah Panoptikon raksasa di mana negara bertindak sebagai pengintai abadi. Perjuangan melawan pasal-pasal ini adalah perjuangan mempertahankan benteng terakhir kedaulatan individu dari cengkeraman kekuasaan yang tak berdasar.
Komentar