Artikel ini membedah fenomena kontradiktif dalam satu tahun pemerintahan Prabowo-Gibran. Penulis memaparkan bagaimana keberhasilan program populis sep
Memasuki satu tahun masa pemerintahan Prabowo-Gibran, wajah politik Indonesia seolah terbelah menjadi dua cermin yang berbeda. Di satu sisi, lembar-lembar survei nasional menunjukkan angka kepuasan publik yang menyentuh angka di atas 75%. Rakyat di pasar-pasar dan desa-desa tampak optimis dengan hadirnya bantuan pangan dan program ikonik Makan Bergizi Gratis (MBG). Namun, di sisi lain, lorong-lorong kampus dan ruang diskusi akademis justru dipenuhi suara peringatan yang kian nyaring. Para profesor, peneliti, dan aktivis melihat adanya "lubang besar" yang sedang digali di bawah fondasi demokrasi kita. Mengapa persepsi rakyat jelata bisa begitu kontras dengan analisis para pakar? Apakah kita sedang merayakan keberhasilan, atau sekadar menikmati anestesi sebelum luka yang lebih dalam terasa?
Politik Perut vs Politik Nilai: Mengapa Rakyat Puas?
Akar dari tingginya angka kepuasan publik terletak pada pergeseran definisi "kesejahteraan" di mata masyarakat bawah. Bagi mereka, politik bukan lagi soal debat ideologi di televisi, melainkan soal kepastian dapur mengepul. Program Makan Bergizi Gratis (MBG) yang telah menyasar lebih dari 38 juta anak adalah magnet simpati yang luar biasa.
Secara faktual, setiap orang tua yang anaknya mendapatkan jatah makan siang gratis merasa mendapatkan "kenaikan gaji tidak langsung" karena pengeluaran harian berkurang sekitar Rp15.000 hingga Rp25.000 per hari. Di tengah fluktuasi harga kebutuhan pokok yang belum sepenuhnya stabil, bantuan dalam bentuk pangan ini memberikan rasa aman psikologis. Pemerintah berhasil membangun narasi bahwa mereka adalah "pelayan" yang langsung hadir di meja makan rakyat. Inilah yang menjelaskan mengapa survei kepuasan tetap kokoh di angka 75-80%: rakyat merasa dihargai secara jasmani, meskipun secara substansi kebijakan makro negara sedang mengalami tekanan hebat.
Kabinet "Gemuk" dan Ancaman Efisiensi yang Terabaikan
Di balik senyum rakyat, para pengamat kebijakan publik menatap cemas pada struktur pemerintahan yang semakin raksasa. Dengan jumlah kementerian dan lembaga yang membengkak signifikan dibanding era sebelumnya, Indonesia kini memiliki salah satu struktur kabinet terbesar di Asia Tenggara. Pemerintah cenderung menutup-nutupi fakta bahwa koordinasi antar-lembaga sering kali mengalami deadlock atau jalan buntu.
Masalah utamanya bukan hanya soal jumlah menteri, tapi soal biaya operasional (belanja pegawai) yang melonjak tajam. Dana yang seharusnya bisa digunakan untuk membangun puskesmas di daerah terpencil atau memperbaiki jembatan yang putus, kini terserap untuk membiayai gaji staf khusus, tunjangan pejabat baru, dan pengadaan gedung kantor kementerian hasil pemecahan. Akademisi mengkritik bahwa "kabinet gemuk" ini lebih mirip dengan bagi-bagi kursi akomodasi politik daripada upaya percepatan kerja. Akibatnya, pengambilan keputusan menjadi lamban karena terlalu banyak pintu birokrasi yang harus dilewati, sebuah realita yang jarang muncul dalam narasi keberhasilan pemerintah di media sosial.
Alarm dari Kampus: Erosi Demokrasi di Balik Angka Survei
Para akademisi dan aktivis HAM menyuarakan kegelisahan tentang kualitas demokrasi yang kian keropos. Ada kecenderungan pemerintah menggunakan angka survei yang tinggi sebagai "perisai" untuk melegitimasi tindakan-tindakan yang antidemokrasi. Isu-isu seperti kriminalisasi aktivis lingkungan melalui UU ITE atau penyempitan ruang diskusi di kampus-kampus seringkali tidak sampai ke telinga publik luas karena tertutup oleh hiruk-pukuk berita bantuan sosial.
Data faktual menunjukkan adanya penurunan skor pada Indeks Persepsi Korupsi (IPK) dan Indeks Kebebasan Pers di tahun 2025. Pemerintah sering kali berdalih bahwa stabilitas politik adalah kunci pembangunan, namun para pakar hukum tata negara mengingatkan bahwa stabilitas tanpa oposisi yang kuat adalah awal dari otoritarianisme. Kontradiksi ini nyata: di luar sana masyarakat bersorak atas bantuan pangan, sementara di ruang-ruang diskusi, para pemikir meratapi melemahnya lembaga pengawas (seperti KPK) dan hilangnya keberanian lembaga legislatif dalam menjalankan fungsi kontrol terhadap eksekutif.
Utang yang Tak Terlihat di Piring Makan
Ini adalah isu paling sensitif yang sering kali dihindari oleh juru bicara pemerintah dalam diskusi publik: Dari mana uangnya berasal? Demi menjaga program populis tetap berjalan dan survei tetap tinggi, pemerintah melakukan manuver anggaran yang berisiko tinggi. Akademisi ekonomi dari berbagai universitas terkemuka telah memberikan peringatan keras mengenai "kanibalisme anggaran".
Faktanya, untuk membiayai ambisi besar program makan siang dan proyek strategis lainnya, terjadi pemangkasan terselubung pada pos-pos krusial. Anggaran pendidikan yang secara konstitusional harus 20%, kini secara teknis banyak dialokasikan untuk urusan "makan", bukan untuk peningkatan kualitas guru atau renovasi ruang kelas yang ambruk. Selain itu, ketergantungan pada utang luar negeri dan penerbitan surat utang negara terus meningkat. Para ahli memperingatkan bahwa apa yang dimakan anak-anak kita secara gratis hari ini, kemungkinan besar harus mereka bayar berkali-kali lipat di masa depan dalam bentuk pajak yang mencekik atau layanan publik yang buruk akibat negara sibuk membayar bunga utang.
Kesimpulan
Pada akhirnya, satu tahun pemerintahan ini menunjukkan sebuah "Kepuasan yang Rentan". Angka survei yang tinggi memang membuktikan bahwa pemerintah berhasil menjawab kebutuhan jangka pendek rakyat. Namun, kritik pedas dari para akademisi adalah peringatan bahwa sebuah negara tidak bisa dikelola hanya dengan memenangkan hati rakyat lewat bantuan fisik semata. Jika pemerintah terus menutup mata terhadap isu struktural—seperti efisiensi kabinet dan kesehatan demokrasi—maka kepuasan publik saat ini hanyalah euforia sesaat yang bisa berubah menjadi kekecewaan besar ketika beban utang dan kerusakan sistemik mulai terasa di masa depan. Pemerintah perlu berani mendengarkan kritik intelektual seserius mereka mendengarkan aspirasi rakyat di lapangan.

Komentar