Membongkar jurang antara janji ambisius penciptaan 19 juta lapangan kerja dengan realitas pahit gelombang PHK di sektor manufaktur.
Gambar 1: Momen pemaparan janji 19 juta lapangan pekerjaan saat debat pilpres
Dalam setiap kontestasi politik, angka "jutaan lapangan kerja" selalu menjadi komoditas jualan yang paling laku di pasar suara. Janji 19 juta lapangan kerja bukan sekadar angka; ia adalah harapan bagi jutaan anak muda yang baru lulus dan kepala keluarga yang cemas akan hari esok. Namun, ketika narasi kampanye berbenturan dengan kenyataan di lapangan, yang kita temukan adalah sebuah kontradiksi yang menyakitkan. Alih-alih ekspansi industri yang menyerap tenaga kerja massal, Indonesia justru sedang terjebak dalam pusaran deindustrialisasi dini. Pabrik-pabrik besar mulai gulung tikar, sementara lapangan kerja yang tercipta justru didominasi oleh sektor informal yang minim perlindungan dan rendah upah.
Retorika Populisme vs Realita Statistik: Menguliti Angka Jualan Kampanye
Janji menciptakan 19 juta lapangan kerja sering kali disampaikan tanpa rincian sektor mana yang akan menjadi lokomotifnya. Dalam kacamata politik, angka sebesar ini berfungsi sebagai distraksi optimisme untuk meredam kegelisahan publik terhadap sulitnya mencari kerja. Negara sering kali membanggakan angka pengangguran yang secara statistik menurun, namun mereka sengaja mengaburkan fakta tentang kualitas pekerjaan tersebut.
Realitasnya, keberhasilan "penciptaan lapangan kerja" yang diklaim pemerintah sering kali hanyalah perpindahan paksa tenaga kerja ke sektor informal. Data BPS menunjukkan bahwa proporsi pekerja informal masih konsisten berada di angka 60% ke atas. Artinya, alih-alih menjadi karyawan tetap dengan jaminan kesehatan dan pensiun, mayoritas rakyat kita justru "menciptakan lapangan kerja sendiri" sebagai pengemudi ojek online atau pedagang kecil demi bertahan hidup. Di sini, negara sebenarnya sedang gagal menyediakan lapangan kerja formal dan justru membebankan tanggung jawab tersebut ke pundak rakyatnya sendiri, lalu mengklaimnya sebagai prestasi statistik.
Jebakan Deindustrialisasi Dini: Ketika Jantung Ekonomi Berhenti Berdenyut
Masalah fundamental yang sengaja diabaikan dalam narasi 19 juta lapangan kerja adalah kondisi sektor manufaktur yang kian sekarat. Indonesia sedang mengalami fenomena deindustrialisasi dini, sebuah kondisi di mana kontribusi industri manufaktur terhadap PDB merosot jauh sebelum negara kita benar-benar menjadi negara maju. Sektor manufaktur adalah tulang punggung kelas menengah karena kemampuannya menyerap tenaga kerja massal (labor intensive) dengan keterampilan menengah.
Kini, jantung ekonomi itu mulai berhenti berdenyut. Industri tekstil, alas kaki, dan furnitur kita sedang dihantam badai besar: biaya energi yang mahal, serbuan produk impor yang tak terkendali, dan kurangnya proteksi negara. Penurunan kontribusi manufaktur dari puncaknya yang pernah menyentuh 28% PDB kini terjun bebas ke kisaran 18-19%. Tanpa revitalisasi industri, janji jutaan pekerjaan baru hanyalah omong kosong. Kita tidak bisa membangun negara yang kuat hanya dengan sektor jasa dan konsumsi jika basis produksinya terus-menerus digerogoti.
Paradoks Investasi: Triliunan Rupiah yang Tak Berwajah Manusia
Salah satu narasi favorit pemerintah adalah memamerkan angka realisasi investasi yang selalu mencapai rekor tertinggi setiap tahun. Namun, ada anomali yang mengerikan di baliknya: elastisitas tenaga kerja yang terus menurun. Dahulu, setiap investasi Rp1 triliun mampu menyerap ribuan pekerja, namun sekarang angka tersebut menyusut drastis.
Investasi yang masuk saat ini cenderung padat modal (capital intensive) dan berbasis teknologi tinggi, seperti smelter atau pabrik otomotif modern yang lebih banyak menggunakan sistem otomatisasi dan robotika. Investasi jenis ini memang meningkatkan angka PDB, tetapi tidak memberikan solusi bagi pengangguran massal di tingkat akar rumput yang memiliki latar belakang pendidikan menengah ke bawah. Akibatnya, terjadi kesenjangan yang lebar: investasi melesat tinggi di atas kertas, tetapi rakyat di sekitarnya tetap menjadi penonton di rumah sendiri karena tidak memiliki kualifikasi yang dibutuhkan oleh mesin-mesin canggih tersebut.
Prekaritas Gig-Economy: Formalitas yang Menipu dan Hilangnya Perlindungan
Narasi penciptaan lapangan kerja juga sering kali menunggangi tren ekonomi digital. Pemerintah seolah-olah menganggap pertumbuhan aplikasi layanan jasa sebagai solusi ajaib bagi pengangguran. Namun, ini adalah jebakan prekaritas—sebuah kondisi kerja yang serba tidak pasti dan berbahaya.
Bekerja di sektor gig-economy atau ekonomi kemitraan sebenarnya adalah bentuk eksploitasi baru yang terbungkus teknologi. Mereka tidak memiliki jam kerja pasti, tidak ada jaminan pesangon, dan tidak memiliki posisi tawar terhadap algoritma perusahaan. Ketika negara memasukkan para "mitra" ini ke dalam angka keberhasilan penciptaan lapangan kerja, negara sebenarnya sedang melegalkan hilangnya hak-hak normatif pekerja. Ini adalah bentuk pengkhianatan terhadap janji "pekerjaan layak" demi mengejar target angka semata.
Krisis Kelas Menengah: Dari Meja Kantor ke Aspal Jalanan
Dampak paling nyata dari kegagalan ini adalah erosi kelas menengah. Kita melihat fenomena di mana sarjana-sarjana baru (fresh graduates) hingga pekerja korban PHK dari sektor formal kini tumpah ruah ke sektor jasa rendah keterampilan. Ini adalah langkah mundur dalam sejarah ekonomi kita.
Ketika struktur ekonomi gagal menyediakan ruang kerja formal di bidang industri atau teknologi yang stabil, daya beli masyarakat akan runtuh secara perlahan. Kelas menengah yang seharusnya menjadi mesin penggerak konsumsi nasional kini terpaksa hidup "pas-pasan" tanpa perlindungan sosial yang memadai. Jika janji 19 juta lapangan kerja hanya berakhir dengan menambah jumlah kurir logistik dan pengantar makanan, maka Indonesia sedang berjalan menuju stagnasi ekonomi jangka panjang. Kita sedang menciptakan generasi yang bekerja keras hanya untuk sekadar tidak lapar, bukan untuk sejahtera.
Kesimpulan: Menagih Politik Pembangunan yang Jujur
Target 19 juta lapangan kerja akan tetap menjadi ilusi selama pemerintah masih terjebak dalam fethisisme angka statistik dan mengabaikan kualitas hidup pekerjanya. Kita tidak bisa terus-menerus membanggakan angka pertumbuhan jika di saat yang sama deindustrialisasi terus menggerogoti pondasi ekonomi nasional.
Sudah saatnya negara berhenti menjual harapan palsu melalui angka-angka bombastis saat kampanye. Yang dibutuhkan rakyat bukan sekadar "pekerjaan" untuk menyambung nyawa esok hari, melainkan kebijakan industri yang mampu menciptakan pekerjaan layak (decent work) dengan perlindungan hukum yang nyata. Tanpa reindustrialisasi yang serius, kita hanya sedang menghitung mundur menuju kiamat ekonomi, di mana janji kampanye hanya akan berakhir sebagai monumen kegagalan yang tertutup oleh tumpukan surat lamaran kerja yang tak pernah terbalas.
Credit :
Penulis : Nabilla Putri
Gambar oleh detikfinance, Tempo.co, dan metrotvnews
Referensi :
1. detikfinance
2. Tempo.co
3. metrotvnews
Komentar